Jumat, 26 Desember 2008

Cinta laki-laki seumpama gunung..

artikel ini pie ambil dari suratkita.blogspot...karena bagus harus pie simpen di blog pie...buat baca-baca..nanti..^^ enjoy this artikel pi...


Cinta laki-laki seumpama gunung. Ia besar, solid dan (sayangnya) rentan.

Sewaktu-waktu ia bisa saja meletus, memuntahkan lahar, menghanguskan apa
saja yang ditemuinya.
Cinta perempuan seumpama kuku. Ia hanya seujung jari, tetapi tumbuh
perlahan-lahan, diam-diam
dan terus menerus bertambah. Jika dipotong, ia akan tumbuh dan tumbuh
lagi."
Betapa menakjubkan!
Perumpamaan di atas terilhami dari sebuah dialog dalam adegan film "Bulan
Tertusuk Ilalang" karya
Garin Nugroho.

Ini mengingatkan kenangan saya pada seorang teman dan ibunya ketika
masa-masa SMP-SMU.

Kala itu, hampir setiap hari saya mengunjungi rumahnya. Teman saya anak
orang berada. Ayahnya,
pimpinan sebuah instansi pemerintah terkemuka di kota saya dan ibunya
adalah ibu rumah tangga.
Saya tak heran mendapati benda-benda bagus dan bermerek di rumahnya yang
masih dalam tahap
renovasi. Seperangkat sofa indah yang empuk, televisi yang besar.
Terkadang saya dibuat berdecak
kagum, sekaligus iri.
Semakin sering saya bertandang ke rumahnya, lama-lama saya menyadari bahwa
isi rumah nan megah
itu semakin kosong dari hari ke hari. Perabotan mewah, satu per satu
lenyap dan televisi yang 'mengkerut'
dari 29 inchi ke 14 inchi.
Perubahan paling mencolok adalah wajah ibu teman saya. Suatu saat ketika
ia berbicara, tak sengaja
saya melihat suatu kenyataan bahwa ibu teman saya itu kini ompong!
Barangkali 2-3 gigi depannya hilang. Saya tak berani -lebih tepatnya tak
juga tak mau tergesa-gesa mengambil kesimpulan sendiri. Yang jelas, sebuah
suara, jauh di lubuk hati
saya berkata : "Sesuatu yang mengerikan telah terjadi di rumah itu!"

Benarlah! Tanpa diminta akhirnya teman saya datang berkunjung ke rumah.
Setengah berbisik, ia
bercerita bahwa ayahnya selingkuh dan karenanya, hampir tak pernah pulang
ke rumah. Dan ini bukan
main-main, perempuan itu hamil dan menuntut pertanggungjawaban ayahnya.
Dengan emosional teman
ini bercerita, bahwa ia diajak ayahnya ke rumah perempuan itu dan meminta
teman saya untuk
memanggilnya dengan sebutan "Mama".
Sebuah permintaan menyakitkan yang langsung ditolak mentah-mentah oleh
teman saya. "Ibuku cuma satu"
tangkisnya tegar saat itu. Dan misteri tentang gigi ibunya yang ompong,
barang-barang mewah dan
perabot yang satu per satu menghilang dari rumahnya pun terkuak sudah.
Semuanya adalah akibat ulah
ayahnya. Dan setengah frustrasi ia mengadu pada saya bahwa ia harus
menanggung semua beban berat itu
sendirian, karena kakak satu-satunya yang kuliah di luar kota tak peduli
dan tak mau memikirkan masalah itu.
Ibunya yang lemah lembut pun tak bisa berbuat banyak dengan perilaku
suaminya. Ia cuma bisa pasrah.
Gigi yang tanggal itu buktinya. Saya hanya mampu berharap dan memberi
semangat agar teman saya itu tabah
dan tak putus berdoa.

Setelah peristiwa itu lama berlalu, Tuhan menjawab doa teman saya. Ketika
itu menjelang kelulusan SMU.
Ia bercerita pada saya bahwa ayahnya sudah 'sembuh', bertobat, dan kembali
ke pangkuan istri dan anak-anaknya. Nasib 'the other woman' itu entah bagaimana? Sampai di sini
persoalan beres. Dan saya takjub
mendengarnya.
Senang sekaligus heran. Bagaimana mungkin masalah pelik ini bisa selesai
semudah itu?
Nurani keadilan saya berontak. Tak habis pikir, betapa mudahnya ibu teman
saya itu memaafkan dan
menerima kembali suaminya setelah semua yang dilakukannya.
Lelaki itu tak cuma berkhianat, menyakiti hati isterinya, tapi juga
melakukan kekerasan fisik dengan
merontokkan gigi-gigi depannya. Tak menafkahi anak-anaknya dan nyaris
mengosongkan isi rumahnya.
Dan ibu teman saya memaafkannya begitu saja!
Sebuah kenyataan yang ternyata banyak juga saya temui di masyarakat kita.
Perselingkuhan dan kekerasan
dalam rumah tangga yang bisa diselesaikan dengan mudah, hanya dengan kata
'maaf'. Mungkin inilah yang
disebut orang sebagai "cinta"??

Ayah teman saya adalah laki-laki dengan cinta sebesar gunung,dan ketika ia
meletus, laharnya meluap
kemana-mana, menghanguskan apa saja, melukai fisik dan terutama hati dan
jiwa isteri serta anak-anaknya.

Ibu teman saya adalah perempuan dengan cinta sebesar kuku. Memang cuma
seujung jari, tapi cinta itu
terus tumbuh, tak peduli jika kuku itu dipotong, bahkan jika jari itu
cantengan dan sang kuku terpaksa
harus dicabut, meski sakitnya tak terkira, kuku itu akan tetap tumbuh dan
tumbuh lagi.

Sebuah cinta yang mengagumkan dari seorang perempuan yang saya yakin tak
cuma dimiliki oleh ibu
teman saya. Cinta yang terwujud dalam sebuah sikap yang agung :
"Memaafkan".
Sebuah tindakan yang perlu enerji, kekuatan yang besar, yang anehnya
banyak dimiliki oleh makhluk
(yang katanya) lemah bernama perempuan.
Yang masih tersisa dan mengganjal di hati saya adalah : Apakah ini
benar-benar tindakan memaafkan
yang tulus atau hanya karena tidak ada pilihan lain??
Hanya Tuhan jua Yang Maha Mengetahui.

Tidak ada komentar: