Kamis, 07 Agustus 2008

Belajar MenCinta

Leo F. Buscaglia, begitu namanya. Seorang professor pendidikan di
University of Southren California, di Amerika. Ia seorang dengan seabreg
kegiatan sosial dan ceramah-ceramah tentang pendidikan. Satu tema yang
terus menerus dibawanya dalam banyak ceramah, adalah tentang cinta.

"Manusia tidak jatuh 'ke dalam' cinta, dan tidak juga keluar 'dari
cinta'. Tapi manusia tumbuh dan besar dalam, cinta," begitu katanya dalam
sebuah ceramah.

Cinta, di banyak waktu dan peristiwa orang selalu berbeda mengartikannya.
Tak ada yang salah, tapi tak ada juga yang benar sempurna penafsirannya.
Karena cinta selalu berkembang, ia seperti udara yang mengisi ruang
kosong.
Cinta juga seperti air yang mengalir ke dataran yang lebih rendah. Tapi
ada satu yang bisa kita sepakati bersama tentang cinta. Bahwa cinta, akan
membawa sesuatu menjadi lebih baik, membawa kita untuk berbuat lebih
sempurna. Mengajarkan pada kita betapa, besar kekuatan yang dihasilkannya.
Cinta membuat dunia yang penat dan bising ini terasa indah, paling tidak
bisa kita nikmati dengan cinta.
Cinta mengajarkan pada kita, bagaimana caranya harus berlaku jujur dan
berkorban, berjuang dan menerima, memberi dan mempertahankan.

Bandung Bondowoso tak tanggung-tanggung membangunkan seluruh jin dari
tidurnya dan menegakkan seribu candi untuk Lorojonggrang seorang.
Sakuriang tak kalah dahsyatnya, diukirnya tanah menjadi sebuah telaga
dengan perahu yang megah dalam semalam demi Dayang Sumbi terkasih yang
ternyata ibu sendiri.
Tajmahal yang indah di India, di setiap jengkal marmer bangunannya
terpahat nama kekasih buah hati sang raja juga terbangun karena cinta.
Bisa jadi, semua kisah besar dunia, berawal dari cinta.

Cinta adalah kaki-kaki yang melangkah membangun samudera kebaikan.
Cinta adalah tangan-tangan yang merajut hamparan permadani kasih sayang.
Cinta adalah hati yang selalu berharap dan mewujudkan dunia dan kehidupan
yang lebih baik.

Dan Islam tidak saja mengagungkan cinta tapi memberikan contoh kongkrit
dalam kehidupan. Lewat kehidupan manusia mulia, Rasulullah tercinta.

Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah lewat
kehidupan Rasul-Nya.

Pagi itu, meski langit telah mulai menguning, burung-burung gurun enggan
mengepakkan sayap. Pagi itu, Rasulullah dengan suara terbata memberikan
petuah, "Wahai umatku, kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta
kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada
kalian, sunnah dan Al Qur'an. Barang siapa mencintai sunnahku, berati
mencintai aku dan kelak orang-orang yang mencintaiku, akan bersama-sama
masuk surga bersama aku."

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh
menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan
berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Ustman
menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. "Rasulullah akan
meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala itu. Manusia
tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu
semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah
yang limbung saat turun dari mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang hadir
di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa.

Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di
dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang
berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan
salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya.
Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang
demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia
kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membukan mata dan bertanya
pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?"

"Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya,"
tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan
pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak di
kenang.
"Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang
memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut," kata Rasulullah,
Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril
tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah
bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu
dunia ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?" Tanya Rasululllah
dengan suara yang amat lemah.
"Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu.
Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata jibril. Tapi itu
ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
"Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" Tanya Jibril lagi.
"Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"
"Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah
berfirman kepadaku: 'Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat
Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh
Rasulullah ditarik Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh,
urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini."
Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya
menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka.

"Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya
Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.
"Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril.

Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit yang tak
tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan saja semua
siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku."

Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak lagi.
Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera
mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku,
peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu."

Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling
berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali
mendekatkan telingan ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
"Ummatii, ummatii, ummatiii" Dan, pupuslah kembang hidup manusia mulia
itu.

Kini, mampukah kita mencinta sepertinya?
Yang begitu besar rasa cinta Beliau kepada umatnya.
Yang begitu besar rasa kasih sayangnya kepada anak yatim (piatu) dan
kaum dhuafa.

Sudahkah kita mencintai kedua orang tua kita dengan tulus?
Mengecup kedua tangannya, membahagiakan mereka sehingga senyum merekah
karena kita. Mencintai keluarga kita.
Mencintai tetangga-tetangga kita.
Mencintai saudara-saudara muslim kita, yang mungkin saat ini sedang
menderita yang amat sangat, baik itu karena penindasan kaum kuffar
durjana, maupun karena kemiskinan,
baik yang berada di sekitar kita maupun di belahan bumi lain.
Dan insya Alloh, kita bukan termasuk orang-orang yang lalai dalam
mengerjakan sholat

"Cinta adalah kaki-kaki yang melangkah
Membangun samudera kebaikan.
Cinta adalah tangan-tangan yang merajut
Hamparan permadani kasih sayang...
Cinta adalah hati yang selalu berharap dan
Mewujudkan dunia dengan kehidupan yang lebih baik ..."

Dan Islam tidak saja mengagungkan cinta
Tapi memberikan contoh kongkrit dalam kehidupan.
Lewat kehidupan manusia mulia, Rasulullah tercinta ...

Semoga taufik dan hidayah Allah SWT selalu tercurahkan kepada kita.
Amin.


*dari artikel tak bernama di PCku*

Tidak ada komentar: